-->
OPTIMALISASI TEKNOLOGI PRODUKSI TRUE SHALLOT SEED (BIJI BIOLOGI) BAWANG MERAH
Sebelum lanjut membaca tulisan ini......
yuk kita pahami dulu apa itu TSS kalau di petani biasanya sebutanya Budidaya Bawang Merah dengan Biji.....

Sedikit cerita pengalaman kemarin berkunjung ke salah satu petani yang mencoba membudidayakan bawang merah melalui TSS....petani ini begitu yakin akan suskes melalui TSS Bawang Merah, tapi kalo dilihat dari potensi TSS memang masih kurang begitu digemari oleh petani khususnya di Sulawesi Selatan...

yuk kita simak sama sama bagaiamana TSS itu.

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas holtikultura yang penting baik ditingkat petani, masyarakat, maupun negara. Pada tahun 1970-an hingga tahun 1980- an komoditas bawang merah merupakan komoditas emas bagi petani. Namun demikian, pada era tahun 1990-an hingga sekarang perannya semakin menurun. Hal ini disebabkan karena menurunnya hasil umbi di tingkat petani. Menurut informasi petani, produktivitas bawang merah pada tahun 1970-an dapat mencapai 16 ton/Ha. Disamping produktivitas yang rendah, biaya usahatani yang digunakan semakin tinggi sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat efisiensi usahatani. Harga satuan produksi menjadi lebih tinggi akibatnya kalah bersaing dengan harga bawang merah impor (Triharyanto, Samanhudi, Pujiasmanto,dan Purnomo, 2013.

Selain itu bawang  merah  merupakan  salah  satu komoditas  sayur  unggulan  nasional  yang  telah lama diusahakan petani secara intensif.  Komoditas  ini  termasuk  dalam  kelompok rempah  tidak  bersubstitusi  yang  berfungsi sebagai  bumbu  penyedap  masakan.  Selain sebagai  bumbu  utama  masakan,  bawang merah  juga  memiliki  potensi  dimanfaatkan sebagai  bahan  baku  industri seperti  bawang goreng,  tepung,  irisan  kering,  irisan  basah, oleoresin,  minyak,  pasta  dan  acar  (Badan Litbang  Deptan,  2005;  Darmawidah  et  al., 2005;  Ditjen  Pemasaran  dan  Pengolahan Hasil  Pertanian,  2006)

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas bawang merah, antara lain tingkat kesuburan tanah yang menurun, tingkat serangan organisme pengganggu tanaman yang tinggi, perubahan iklim mikro, dan penggunaan bibit yang bermutu rendah. Pada umumnya petani bawang merah menggunakan bibit dari umbi konsumsi.Penggunaan bibit dari umbi konsumsi dilakukan secara turun temurun dalam kurun waktu yang lama.Akibatnya umbi bibit yang digunakan mempunyai mutu yang rendah, hal ini dikarenakan bibit tersebut telah banyak terinfeksi oleh virus, seperti Onion Yellow Dearf Virus (OYDV), Shallot Laten Virus (SLV) dan Leek Yellow Stip Virus (LYSV) (Klukackova 2004, Arisuryanti et al.2009)

Penggunaan biji botani (True Shallot Seed) merupakan salah satu alternative yang dapat dikembangkan untuk perbaikan kualitas bibit bawang merah(Permadi1991, Raduica 2008, Sumarni et al. 2005, Sopha 2010). Penelitian penggunaan biji botani untuk budidaya bawang merah sudah banyak dilakukan, namun hasilnya belum banyak yang dapat diaplikasikan di tingkat petani. Hal tersebut dikarenakan banyak kendala yang dihadapi dalam pembudidayaan bawang merah menggunakan biji botani, antara lain :

1.  Masih sulitnya mengupayakan terjadinya pembungaan dan pembuahan padabawang merah

2.     Persentase biji yang dihasilkan mempunyai daya tumbuh yang rendah

Menurut Pangestuti dan Sulistyaningsih bahwa Berbagai  kendala  dalam  penggunaan umbi  sebagai  sumber  benih  bawang  merah menjadi  latar  belakang diperlukannya  bahan sumber  benih  lain  selain umbi.  Penggunaan biji  (TSS)  dapat  menjadi  alternatif  yang menjanjikan.  Penggunaan  TSS  sebagai sumber benih  memiliki beberapa keunggulan dibandingkan umbi, diantaranya :

1.    Kebutuhan Biji Sedikit, Penggunaan biji sebagai benih untuk luasan  per  ha  hanya  3-  7,5  kg  sedang umbi membutuhkan 1-1,5 ton/ha

2.    Biaya penyediaan Mudah, Dengan  kebutuhan  benih  biji  yang hanya  3-7,5  kg  ,  maka  biaya  untuk penyediaan  benih  menjadi  lebih  murah. Jika  rata-rata  harga  TSS  per  kg  Rp 1.000.000,00  maka  hanya  dibutuhkan biaya Rp 3.000.000,00 – Rp 7.500.000,00 saja  untuk  pembelian  benih  atau  dapat menghemat 62,5%- 80% biaya benih.

3.    Penyimpanan Benih lebih Muda, Tidak  diperlukan  bangunan/ruang yang  besar  untuk  penyimpanan  benih karena  ukuran  biji  jauh  lebih  kecil dibandingkan  umbi.  Berat  rata-rata  1000 biji berkisar 2-3 g (Rabinowitch & Currah, 2002),  untuk  varietas  Katumi  dan Sembrani yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman  Sayur,  ukuran biji  sedikit lebih besar  dengan  berat  1000  biji  masing-masing 3,6 g dan 3,8 g  (BR PVT, 2008).

4.    Umur  simpan  benih  lama  sehingga fleksibel, dapat ditanam saat dibutuhkan

5.    Mudah dan Murah saat didistribusikan.









LihatTutupKomentar