Bawang
merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas holtikultura yang penting
baik ditingkat petani, masyarakat, maupun negara. Pada tahun 1970-an hingga
tahun 1980- an komoditas bawang merah merupakan komoditas emas bagi petani.
Namun demikian, pada era tahun 1990-an hingga sekarang perannya semakin
menurun. Hal ini disebabkan karena menurunnya hasil umbi di tingkat petani. Menurut
informasi petani, produktivitas bawang merah pada tahun 1970-an dapat mencapai
16 ton/Ha. Disamping produktivitas yang rendah, biaya usahatani yang digunakan
semakin tinggi sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat efisiensi usahatani.
Harga satuan produksi menjadi lebih tinggi akibatnya kalah bersaing dengan
harga bawang merah impor (Triharyanto, Samanhudi, Pujiasmanto,dan Purnomo,
2013.
Selain
itu bawang merah merupakan
salah satu komoditas sayur
unggulan nasional yang telah lama diusahakan petani secara
intensif. Komoditas ini
termasuk dalam kelompok rempah tidak
bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu
penyedap masakan. Selain sebagai bumbu
utama masakan, bawang merah
juga memiliki potensi
dimanfaatkan sebagai bahan baku
industri seperti bawang
goreng, tepung, irisan
kering, irisan basah, oleoresin, minyak,
pasta dan acar
(Badan Litbang Deptan, 2005;
Darmawidah et al., 2005;
Ditjen Pemasaran dan
Pengolahan Hasil Pertanian, 2006)
Terdapat
banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas bawang merah, antara
lain tingkat kesuburan tanah yang menurun, tingkat serangan organisme
pengganggu tanaman yang tinggi, perubahan iklim mikro, dan penggunaan bibit
yang bermutu rendah. Pada umumnya petani bawang merah menggunakan bibit dari
umbi konsumsi.Penggunaan bibit dari umbi konsumsi dilakukan secara turun
temurun dalam kurun waktu yang lama.Akibatnya umbi bibit yang digunakan
mempunyai mutu yang rendah, hal ini dikarenakan bibit tersebut telah banyak
terinfeksi oleh virus, seperti Onion Yellow Dearf Virus (OYDV), Shallot Laten
Virus (SLV) dan Leek Yellow Stip Virus (LYSV) (Klukackova 2004, Arisuryanti et
al.2009)
Penggunaan
biji botani (True Shallot Seed) merupakan salah satu alternative yang dapat
dikembangkan untuk perbaikan kualitas bibit bawang merah(Permadi1991, Raduica
2008, Sumarni et al. 2005, Sopha 2010). Penelitian penggunaan biji botani untuk
budidaya bawang merah sudah banyak dilakukan, namun hasilnya belum banyak yang
dapat diaplikasikan di tingkat petani. Hal tersebut dikarenakan banyak kendala
yang dihadapi dalam pembudidayaan bawang merah menggunakan biji botani, antara
lain :
1. Masih sulitnya mengupayakan
terjadinya pembungaan dan pembuahan padabawang merah
2. Persentase biji yang dihasilkan
mempunyai daya tumbuh yang rendah
Menurut
Pangestuti dan Sulistyaningsih bahwa Berbagai
kendala dalam penggunaan umbi sebagai
sumber benih bawang
merah menjadi latar belakang diperlukannya bahan sumber
benih lain selain umbi.
Penggunaan biji (TSS) dapat
menjadi alternatif yang menjanjikan. Penggunaan
TSS sebagai sumber benih memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
umbi, diantaranya :
1. Kebutuhan Biji Sedikit, Penggunaan
biji sebagai benih untuk luasan per ha
hanya 3- 7,5
kg sedang umbi membutuhkan 1-1,5
ton/ha
2. Biaya penyediaan Mudah, Dengan kebutuhan
benih biji yang hanya
3-7,5 kg ,
maka biaya untuk penyediaan benih
menjadi lebih murah. Jika
rata-rata harga TSS
per kg Rp 1.000.000,00 maka
hanya dibutuhkan biaya Rp
3.000.000,00 – Rp 7.500.000,00 saja
untuk pembelian benih
atau dapat menghemat 62,5%- 80%
biaya benih.
3. Penyimpanan Benih lebih Muda, Tidak diperlukan
bangunan/ruang yang besar untuk
penyimpanan benih karena ukuran
biji jauh lebih
kecil dibandingkan umbi. Berat
rata-rata 1000 biji berkisar 2-3
g (Rabinowitch & Currah, 2002),
untuk varietas Katumi
dan Sembrani yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Sayur,
ukuran biji sedikit lebih besar dengan
berat 1000 biji
masing-masing 3,6 g dan 3,8 g (BR
PVT, 2008).
4. Umur simpan
benih lama sehingga fleksibel, dapat ditanam saat
dibutuhkan
5. Mudah dan Murah saat
didistribusikan.